ntrQswiZ9Xz2ZXNIzUYXO9upCeKOpIdP9N5EoMzW
Bookmark

Dibalik Griya Schizofren: Perjuangan Triana Rachmawati Memanusiakan Manusia Lewat Kasih & Kepedulian

 

Dibalik Griya Schizofren Triana Rachmawati

Nikayu.com - Di balik gemerlap kehidupan perkotaan yang seringkali mengabaikan sisi kemanusiaan, ada sebuah kisah inspiratif yang lahir dari ketulusan hati seorang perempuan bernama Triana Rachmawati.

Ia adalah sosok di balik lahirnya Griya Schizofren, sebuah rumah singgah yang menjadi tempat perlindungan, pemulihan, sekaligus ruang untuk kembali menemukan makna hidup bagi mereka yang kerap dipandang sebelah mata: penyandang gangguan jiwa.

Kehadiran Griya Schizofren bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah rumah kasih, tempat kepedulian diwujudkan secara nyata, dan simbol perjuangan bahwa setiap manusia, betapapun keadaannya, berhak dimanusiakan.

Awal Mula Sebuah Perjuangan

Setiap manusia terlahir dengan jalan hidupnya masing-masing. Namun, tidak semua berani memilih untuk berjalan di jalur yang penuh pengorbanan dan kepedulian.

Di balik sosok sederhana ini, tersimpan keteguhan hati yang luar biasa. Ia adalah pribadi yang tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri, tetapi juga menghadirkan cahaya bagi orang lain yang kerap terabaikan.

Dengan kasih sayang yang tulus dan kepedulian tanpa batas, ia mengajarkan kita arti sejati dari memanusiakan manusia.

Inilah kisah tentang Triana Rahmawati, sosok yang menjadikan cinta sebagai kekuatan untuk mengubah dunia, satu langkah kecil demi satu kehidupan yang lebih berarti.

Triana Rahmawati adalah seorang social enterpreneur lulusan S2 Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Ia merupakan perempuan kelahiran Palembang yang semasa kuliah pernah mengikuti Program Pengabdian Masyarakat dengan pendekatan Ilmu Sosiologi terkait dengan ODMK.

Sebelum mendirikan Griya Schizofren, Triana Rahmawati sudah terbiasa berinteraksi dengan Fian, salah satu anggota keluarganya yang memiliki kelainan genetik Down Syndrome.

Setelah ia diterima di UNS, Triana sadar bahwa kampusnya dekat sekali dengan rumah sakit jiwa dan tempat rehabilitasi ODMK.

Lokasi yang sangat dekat dekat dengan kampus, mengingatkannya bahwa ODMK adalah bagian dari masyarakat yang acapkali dilupakan oleh masyarakat, padahal mereka ingin sekali dianggap keberadaannya.

Padahal, jauh di dalam hati mereka, ada kerinduan yang sama seperti kita semua: untuk diakui, dihargai, dan diperlakukan sebagai manusia seutuhnya.

ODMK bukan sekadar label atau stigma, melainkan individu dengan harapan, mimpi, dan perasaan yang sama.

Mereka ingin sekali dianggap keberadaannya, diterima dalam lingkungan sosial, dan diberi kesempatan untuk kembali bangkit menjalani hidup dengan bermartabat.

Melihat hal tersebut, Tria kemudian mengajak dua temannya, Febrianti Dwi Lestari dan Wulandari, untuk berbuat sesuatu yang bermakna bagi ODMK.

Tria dan temannya berkeliling mencari panti yang bersedia menerima mereka dengan tangan terbuka dan akhirnya, mereka bertemu dengan Griya PMI Peduli Surakarta.

Ia dan timnya merasa canggung, tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika bertemu dengan ODMK.

Namun, apa yang mereka lihat pada akhirnya berbeda jauh dari apa yang sering dilontarkan masyarakat umum.

Kegiatan tersebut berjalan sejak tahun 2012 hingga Triana dan kawannya, Febrianti Dwi Lestari dan Wulandari membentuk tim volunteer yang menjadi awal mula lahirnya Griya Schizofren.

Lantas bagaimana Triana mendapatkan pendanaan untuk mendirikan Griya Schizofren?

Ia dan temannya mendapatkan pendanaan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), sehingga komunitas Griya Schizofren akhirnya bisa berdiri.

Jika dilihat dari perjalanan mendirikan Griya Schizofren, ternyata tidak semudah dibayangkan, karena semuanya harus diawali dengan kepekaan sosial yang akhirnya terbentuklah sebuah panggilan jiwa.

Selain panggilan jiwa, ia juga melihat bagaimana orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sering diperlakukan tidak adil. Mereka dikucilkan, di intimidasi,  bahkan tidak jarang menjadi korban pembuliyan.

Maka dari itu, ia bertekad untuk meyakinkan dirinya dan orang-orang  yang ada disekitarnya untuk berjuang bersama menolong ODMK.

Dengan tekad dan keyakinan yang kuat, akhirnya Griya Schizofren berdiri dan menjadi wadah sederhana namun penuh dengan kepedulian dan kasih sayang yang penuh cinta dan merupakan tempat ODGJ mendapat kesempatan untuk kembali menjalani hidup secara layak.

Atas pencapainnya itu, Triana merupakan penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2017 dan pada Kamis 21 Agustus 2025, ia diundang dalam Workshop Fotografi & Bincang Inspiratif SATUKAN GERAK TERUS BERDAMPAK.

Memanusiakan Manusia dengan Kasih

Dibalik Griya Schizofren Triana Rachmawati

Filosofi utama yang selalu dipegang Triana adalah memanusiakan manusia. Baginya, kasih sayang adalah obat pertama yang bisa menembus sekat stigma dan diskriminasi.

Ia tidak hanya menyediakan tempat tinggal atau makanan bagi para penghuni Griya Schizofren, tetapi juga memberikan ruang bagi mereka untuk merasa dihargai.

Di Griya Schizofren, para penghuni diperlakukan setara. Mereka dilibatkan dalam kegiatan sehari-hari, diajak berinteraksi, hingga diberi kesempatan untuk berkarya.

Griya Schizofren menerapkan seni dan kreativitas sebagai pilar terapi sekaligus sebagai pemberdayaan ekonomi.

Salah satu kegiatan di Griya Schizofren adalah menggambar. Kegiatan yang terlihat sederhana, sangat berguna bagi para ODMK untuk bisa mengaktualisasikan diri mereka lewat karya, bertutur lewat gambar tentang apa mereka alami dan rasakan. Karya mereka bisa mengarah pada kesejahteraan ekonomi yang menghasilkan.

Hal ini menghubungkan kebahagiaan pula pada keluarga yang memiliki anggota keluarga ODMK. Selain aspek terapi, Griya Schizofren juga menerapkan kehidupan sehat pada para ODMK, dengan rutin berbagi buah, berolahraga, dan melakukan aksi positif kesehatan lainnya

Triana percaya, kasih adalah bahasa universal yang mampu menyembuhkan luka terdalam. Dengan kepeduliannya, ia berusaha menanamkan keyakinan bahwa setiap manusia memiliki potensi untuk bangkit dan menjalani hidup dengan bermartabat.

Kepedulian yang Mengubah Hidup

Tidak mudah membangun dan menjalankan Griya Schizofren. Banyak tantangan yang harus dihadapi, mulai dari keterbatasan dana, stigma masyarakat, hingga tekanan sosial. Namun, Triana memilih untuk tetap melangkah dengan hati yang teguh.

Ia menggerakkan komunitas, mengajak dan merangkul semua pihak yang peduli untuk turut serta dalam perjuangannya.

Kepeduliannya menular, hingga banyak orang yang akhirnya ikut membantu, baik melalui donasi, tenaga, maupun sekadar menyebarkan semangat kemanusiaan.

Hasilnya, Griya Schizofren tidak hanya menjadi rumah singgah, melainkan juga pusat edukasi masyarakat.

Banyak orang mulai menyadari pentingnya memberi ruang dan kesempatan bagi ODGJ untuk kembali hidup bermasyarakat.

Perubahan ini, meskipun perlahan, menjadi bukti nyata bahwa kepedulian bisa menumbuhkan harapan.

Triana Rachmawati: Sosok di Balik Keteguhan

Ketika berbicara tentang Griya Schizofren, nama Triana Rachmawati tidak bisa dilepaskan. Ia adalah pilar yang menopang seluruh perjuangan ini.

Dengan kesabaran, ketulusan, dan keyakinannya, ia berjuang melawan stigma yang sudah mengakar dalam masyarakat.

Triana bukan hanya seorang penggerak, tetapi juga seorang ibu, sahabat, dan pendengar yang baik bagi para penghuni Griya.

Ia memahami bahwa untuk menyentuh hati seseorang, dibutuhkan lebih dari sekadar perhatian. Dibutuhkan kehadiran yang nyata, ketulusan tanpa pamrih, dan cinta yang tidak pernah habis.

Perjuangan Triana adalah refleksi bahwa perubahan besar selalu berawal dari langkah kecil. Ia memulai dari dirinya sendiri, dari lingkungan terdekat, hingga akhirnya menjadikan Griya Schizofren sebagai simbol kemanusiaan yang lebih luas.

Harapan di Masa Depan

Griya Schizofren masih terus berproses. Perjalanan panjang masih terbentang, dan tantangan masih ada di depan mata. Namun, dengan semangat kasih dan kepedulian, Triana yakin bahwa perjuangan ini akan terus memberi dampak positif.

Seperti dilansir dari laman bappeda.jabarprov.go.id, Kementerian Kesehatan melalui surveinya yang bertajuk Survei Kesehatan Indonesia (SKI) menyebutkan bahwa prevalensi depresi Indonesia berada di angka 1,4% di tahun 2023.

Angka tersebut menggambarkan tingkat depresi setiap 100 penduduk usia 15 tahun ke atas.

Jika melihat data tersebut, terdapat sekitar 1,4 dari 100 penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun mengalami depresi.

Dan yang paling mengejukan, Jawa Barat merupakan provinsi paling depresi di Indonesia dengan angka prevalensinya mencapai 3,3%.

Kemudian, Kalimantan Timur berada di urutan kedua dengan 2,2%, disusul Banten (1,7%), Sulawesi Selatan (1,7%), DKI Jakarta (1,5%), DI Yogyakarta (1,5%), Sulawesi Tengah (1,5), Sulawesi Utara (1,4%), NTB (1,3%), dan Sumatera Utara (1,2%).

Jika melihat dari data tersebut, harapannya kedepan, masyarakat lebih terbuka, lebih peduli, dan tidak lagi memberi label negatif kepada ODGJ.

Ia ingin melihat dunia di mana setiap orang dihargai bukan karena keterbatasannya, melainkan karena nilai kemanusiaannya.

Selain itu, harapnnya untuk jangka panjang, kalau bisa dapat diperluas jangkauan Griya Schizofren.

Karena dengan begitu, akan lebih banyak program pemberdayaan, pelatihan keterampilan, serta membuka kesempatan kerja bagi para penyintas gangguan jiwa di berbagai daerah. Semua itu dilakukan demi satu tujuan, yakni memanusiakan manusia.

Kisah Dibalik Griya Schizofren adalah kisah tentang kasih dan kepedulian yang tidak pernah padam.

Perjuangan Triana Rachmawati menjadi pengingat bahwa di dunia yang penuh kompetisi dan individualisme, masih ada ruang untuk cinta tanpa syarat.

Griya Schizofren hadir bukan sekadar rumah singgah, tetapi sebagai simbol perjuangan memanusiakan manusia.

Lewat kasih dan kepedulian, Triana mengajarkan kepada kita semua bahwa setiap kehidupan memiliki arti, setiap jiwa berharga, dan setiap manusia layak untuk dimanusiakan.

Referensi :

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2023/10/14/griya-schizofren-harapan-orang-masalah-kejiwaan

https://bappeda.jabarprov.go.id

Post a Comment

Post a Comment